I.
Pengertian,
dasar hukum, dan tujuan berdiri
a.
Pengertian
Perbankan syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
b.
Dasar hukum
(Dalil Rujukan)
i.
Al-baqarah
ayat 275
275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
ii. Ar-Rum ayat 39
Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Dan lain-lain…
c.
Tujuan
berdiri
Tujuan utama
dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan syariah ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk
mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan
As-Sunnah[2]
II.
Perbedaan antara
bank syariah dan konvensional
Parameter
|
Bank Syariah
|
Bank Konvensional
|
Landasan hukum
|
UU Perbankan dan Landasan Syariah
|
UU Perbankan
|
Return
|
Bagi hasil, margin pendapatan sewa,
komisi/fee
|
Bunga, komisi/fee
|
Hubungan dengan nasabah
|
Kemitraan, Investor-investor,
investor-pengusaha
|
Debitur-kreditur
|
Fungsi dan kegiatan Bank
|
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan
|
Intermediasi, jasa keuangan
|
Prinsip dasar operasi
|
Anti riba dan anti maysir
|
Tidak anti riba dan maysir
|
Prioritas pelayanan
|
1.
Tidakbebas nilai (prinsip syariah Islam)
2.
Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
3.
Bagi hasil, jual beli, sewa
|
1.
Bebas nilai (prinsip materialis)
2.
Uang sebagai komoditi
3.
Bunga
|
Orientasi
|
Kepentingan publik
|
Kepentingan pribadi
|
Bentuk usaha
|
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
|
Keuntungan
|
Evaluasi nasabah
|
Bank komersial, bank pembangunan, bank
universal, atau multi purpose
|
Bank komersial
|
Hubungan nasabah
|
Lebih hati-hati karena partisipasi
dalam risiko
|
Kepastian pengembalian pokok dan bunga
|
Suber likuiditas jangka pendek
|
Erat sebagai mitra usaha
|
Terbatas debitur-kreditur
|
Pinjaman yang diberikan
|
Terbatas
|
Pasar uang, bank sentral
|
Prinsip usaha
|
Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba
|
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
|
Pengelolaan dana
|
Pasiva ke Aktiva
|
Aktiva ke Pasiva
|
Lembaga penyelesaian sengketa
|
Pengadilan, arbitrase
|
Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional
|
Risiko Investasi
|
1.
Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan
prinsip keadilan dan kejujuran
2.
Tidak mungkin terjadi negative spread
|
1.
Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur,
risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank
2.
Kemungkinan terjadi negative spread
|
Monitoring pembiayaan/Kredit
|
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
|
Terbatas pada administrasi
|
Struktur Organisasi Pengawas
|
Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah Nasional
|
Dewan komisaris
|
Criteria pembiayaan
|
Bankable, Halal
|
Bankable, Halal atau haram
|
Sumber: Veitzal
Rifai,
Perbedaan ini
meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan
kerja.
a.
Akad
dan Aspek Legalitas
Dalam bank
syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena
akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan
syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya,
harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1.
Rukun
: Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
2.
Syarat
: misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa
yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b.
Lembaga
Penyelesai Sengketa
Jika pada
perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan
nasabahnya, kedua belah pihak dapat
tidak menyelesaikannya di peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata
cara dan hukum materi syariah. (Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang
mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia )
c.
Struktur
Organisasi
Bank syariah
dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal
komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah
dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan
garis-garis syariah.
d.
Bisnis
dan Usaha yang dibiayai
Dalam perbankan
syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal
pokok, diantaranya sebagai berikut:
1.
Apakah
objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4.
Apakah
proyek berkaitan dengan perjudian?
5.
Apakah
usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh missal?
6.
Apakah
proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
e.
Linkungan
kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank
syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Antara
lain dalam hal etika (amanah dan shiddiq), cara berpakaian dan tingkah
laku, akhlakul karimah dalam
menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skilfull
dan professional, mampu mengerjakan tugas team-work
dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi, selain itu pula dalam hal reward and
punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
III.
Sejarah
lahir dan berkembangnya bank syariah di berbagai Negara
Revivalis Islam,
setelah periode panjang stagnasi, telah menghasilkan beberapa tren pemikiran di
dunia islam modern, diantaranya adalah pemikiran Modernisme dan
neo-Revivalisme. Kaum modernis berusaha untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip moral-spiritual syariah dan menyerukan upaya-upaya untuk
memahami al-qur’an dan sunnah dalam perspektif prinsip-prinsip yang luas itu.
Sementara kaum neo Revivalis, di lain pihak, memfokuskan pada aplikasi syariah
seperti apa adanya, tanpa sedikit pun reinterpretasi mendasar terhadap semua
teks-teks zhahirnya.[3]
Tersebarnya
bank-bank ala barat yang berbasis bunga di Negara-negara yang dikuasai muslim,
mengundang para sarjana muslim untuk berdebat mengenai apakah bunga itu riba
atau bukan. Kaum neo-revivalis bersikukuh bahwa bunga adalah riba, dan mereka
sudah menuntut penghapusannya sejak 1930-an, sementara kaum modernis berpendapat
bahwa tidak semua bentuk bunga adalah riba, hanya bunga yang dinilai tidak adil
saja yang riba. Meskipun suara kaum neo-revivalis tidak cukup mendapatkan
pengakuan dari para pemimpin politik sebelum 1960-an, suaranya memiliki
pengaruh terhadap undang-undang sejumlah Negara muslim, yang menilai bunga
sebagai riba. Meskipun begitu, tak satu pun pemerintah muslim di zaman modern yang berusaha
menghapuskan bunga sebelum 1970-an. Namun, situasinya berubah sejak 1970-an,
disebabkan oleh dua factor: meningkatnya pengaruh neo-revivalisme dan kekayaan
minyak Negara-negara teluk konservatif. Interpretasi kaum neo-revivalis yang
menilai bunga sebagai riba diberi kekuatan oleh dukungan moral dan material
para penguasa teluk dan beberapa orang kaya dari Negara-negara tersebut”.
Jutaan dolar diinvestasikan dalam pendirian bank-bank islam timur tengah dan wilayah lainnya. Bersamaan dengan itu,
pemerintah islam Pakistan ,
Iran ,
dan Sudan
mulai mengeliminir bunga dari sistem keuangan dan perbankan mereka. Bank-bank
islam tumbuh pesat pada tahun 1970-an dan 1980-aan. Pada saat sekarang,
bank-bank islam dalam dalam berbagai bentuknya bermunculan di banyak Negara
muslim maupun non-muslim. Deposito, dana-dana yang disalurkan, serta ekuitas
para pemegang saham di bank-bank tersebut telah meningkat tajam.[4]
Upaya awal
penerapan system profit and loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara
nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di
desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup
sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan cukup pesat. Sesuai dengan analisa
Prof. Khursid ahamad dan laporan Internasional Association of Islamic Bank,
hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang
beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara berpenduduk miskin maupun di
Eropa, Australia, maupun di Amerika.[5]
Pada sekitar
tahun 1970-an, bank yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Islam mulai marak di seluruh dunia dengan mempergunakan teknologi modern.
Dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil yang mengacu kepada ajaran agama Islam dan
diterapkan secara istiqomah, bank-bank syariah ini tumbuh dengan pesat. Di Negara-negara
yang bank syariahnya menerapkan ketentuan-ketentuan syariat Islam secara
konsekuen, sedikit sekali mendapatkan kesulitan dalam operasinya. Sebaliknya,
penerapan ketentuan-ketentuan syariat Islam pada bank yang setengah-setengah,
selalu mengalami kesulitan dan menimbulkan masalah bagi nasabahnya.[6]
Faktor-faktor yang mendorong munculnya bank-bank Islam:
1. Kecaman kaum neo-Revivalis terhadap bunga sebagai riba.
2.
Kekayaan
minyak Negara-negara Teluk konservatif.
3.
Pengadopsian
interpretasi tradisional riba oleh sejumlah Negara-negara muslim pada tingakat
pembuatan kebijakan.
Mit Ghamr Bank
Rintisan
perbankan syariah mulai berdiri di Mesir pada decade 1960-an dan beropersi
sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia ) di sepanjang
delta sungai nil. Lembaga ini hanya
beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu
menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan system financial dan
ekonomi.
Perkembangan
Bank-Bank Syariah di Beberapa Negara
1.
Pakistan
Merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli
1979, sistem bunga di hapuskan dari tiga institusi: National Investment, House
Building Finance Corporation, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of
Pakistan .
Awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan dikonversi dengan sistem perbankan
syariah
2.
Mesir
Bank syariah
yang pertama kali berdiri adalah Faisal Islamic Bank. Selain ini, terdapat bank
lain yaitu Islamic International Bank for Investment and Development yang
beroperasi dengan menggunakan instrument keuangan Islam dan menyediakan
jaringan luas. Bank ini beroperasi baik sebagai bank investasi (investment
bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial
bank).
3.
Kuwait
Kuwait Finance
House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan system tanpa
bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukkan
perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana
masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474.
Pada akhr tahun 1985, total asset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan
bersih mencapai KD 17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4-5 dolar US )
4.
Iran
Ide pengembangan
perbankan syariah di Iran
sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah
Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti baru dimulai sejak
Januari tahun 1984.
Berdasarkan undang-undang yang disetujui
pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan
sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang
diadministrasikan sesuai dengan system syariah.
Islamisasi system perbankan di Iran ditandai
dengan nasionalisai seluruh industry perbankan yang dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan
demikian, sejak lahirnya UU Perbankan Islam (1983), seluruh system keuangan di Iran otomatis sesuai
syariah di bawah control pemerintah.
5.
Malaysia
Tahun
1983 lahir Bank Islam Malaysia Berhard (BIMB). Bank Islam
lahir bukan karena adanya rich individual seperti di Timur Tengah. BIMB
berkembang karena pemikiran & kreativitas banker Islam dalam menciptakan
produk-produk bank berdasar syariah yang mampu berkompetisi dengan bank
konvensional sehingga nasabahnya bukan hanya kelompok muslim yang mengharamkan
bunga tetapi juga kelompok lain yang rasional.
IV.
Perbedaan antara
IDB,Bank syariah dan BPRS
Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan
jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
Dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. Pemerintah daerah.
Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor
perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.
Hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a.
Warga
negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia
yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia ;
b.
Pemerintah
daerah; atau
c.
Dua
pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Islamic Development Bank (IDB) diprakarsai
berdirinya dalam konferensi Menteri-Menteri Keuangan pertama negara anggota OKI
di Jeddah tanggal 18 Desember 1973.
Tujuan:
mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kehidupan sosial negara
anggotanya serta masyarakat Muslim sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
V.
Peraturan hukum
terkait dengan bank syariah
1.
UU
No.7 Tahun 1992
Sejak
diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai
bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada
sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal
Rp.106.126.382.000,00.
Namun
bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia
adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya
beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung . Keduanya mulai mengoprasikan
usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun
UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian
bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang
diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan
bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan
kandungan peraturan tersebut.
2.
UU
No.10 Tahun 1998
Arah kebijakan
regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai
fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas
koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa
diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan
peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:
•
Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan
usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
•
Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi
masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk
membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan
Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang
dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam
pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
.
3.
UU
No.23 Tahun 2003
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah
menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan
fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional
bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank system.
4.
UU
No.21 Tahun 2008
Beberapa aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:
•
Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank
syariah, kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi sebelum
berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (pasal 5 no.4).Bagi bank umum konvensional (BUK)
yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah
setelah nama bank(pasal 5 no.5).
Konsekuensinya, penamaan suatu UUS pada suatu kantor
cabang BUK yang saat ini kebanyakan disingkat, misalnya Bank X Syariah Cabang
Kemayoran, maka harus di ubah menjadi Bank X Unit Usaha Syariah Cabang
Kemayoran.
•
Kedua, adanya sanksi bagi pemegang saham
pengendali yang tidak lulus fit and proper test dari BI (pasal 27).
•
Ketiga, satu-satunya pemegang fatwa syariah
adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk
perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka
penyusunan PBI, BI membentuk komite perbankan syariah yang beranggotakan
unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang
berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah (pasal 26).
•
Keempat, adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah.
Dalam definisi lama disebutkan bahwa murabahah adalah
jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan
yang disepakati. Menurut UU No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah
akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”,
secara implisit UU No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi
murabahah tidak termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini
menjadi masalah bagi bank syariah.
5. Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan
syariah
a. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah
dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank
syariah.
b. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan
bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah
c. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
VI.
Dampak pertumbuhan
bank syariah bagi perkembangan bisnis syariah lainnya
Dampak banyaknya bermunculan bank syariah di Indonesia
mulai dari bank umum, unit usaha, sampai akusisi saham, merangsang pertumbuhan
bisnis-bisnis syariah lainnya. Karena pandangan masyarakat akan bisnis syariah
lebih menguntungkan. Walaupun return yang
didapatkan lebih kecil dibanding bisnis konvensional namun bisnis syariah tetap
bertahan ditengah krisis global seperti sekarang ini. Beberapa bisnis syariah
yang mulai berkembang sekarang ini selain bank syariah diantaranya asuransi
syariah, BPRS, dan BMT. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang
prinsip syariah mulai meluas, dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim terhadap bisnis syariah memberikan dampak positif bagi
perkembangan bisnis-bisnis syariah.
VII.
Prospek, Kendala,
dan Strategi Perkembangan Bank Syariah
·
Prospek Bank Syari’ah
Tidak bisa dibantah, bahwa
perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk
dikembangkan di Indonesia
. Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh empat hal ;
Pertama,
Jumlah penduduk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank
syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum
tergarap secara signifikan.
Kedua,
Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah semakin
pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan akan lahir
sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan
ekonomi syariah yang komprehensif, tidak seperti sekarang, banyak yang masih
menolak ekonomi syariah karena belum memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
ekonomi syariah.
Ketiga
Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap
berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut,
terjadi shifting dana masyarakat dari
bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari
bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia , dalam waktu satu bulan
pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1
trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.
Keempat,
Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada kebenaran,
keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will
pemerintah untuk mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia
tinggal menunggu waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat
keunggulan bank syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung
membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan
benar-benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan negara
dari kehancuran. Bank Indonesia
yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan
bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar.
Memang banyak peran Bank Indonesia
dalam mendorong pertumbuhan bank syariah, khususnya dalam regulasi. Namun
kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa masih relatif kecil dilaksanakan
dan didukung Bank Indonesia .
Kelima,
Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan
syari’ah di Indonesia
sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia
memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana
Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan
Eropa, pasca 11 September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk
ditempatkan di Asia.
·
Kendala Bank Syariah
1.
Kendala-Kendala
Fiqh
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang
secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram.
Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar
Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama
berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa
alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada
nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman
jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan
nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa
dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari
debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini
bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang
bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan
(Umar Syihab, 1996, pp. 1270).
Sementara
itu Majelas Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh
bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke
dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung
bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang
diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih
tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal
Ka’bah, 2001, pp. 63).
Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah,
memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan
terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan
Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il
memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga
bank haram (Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, pp. 63).
Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya
terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti
Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk
menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk
menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atas madarat-nya, dengan memberi
bukti-bukti empiris mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian
Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh
perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan
bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa
tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah
dibandingkan dengan tingkat suku bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah
yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa
tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku
bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non
Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di
Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional.
2. Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri
tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara,
sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989.
Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa
perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di
atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank
Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu
lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah.
3.
Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat
mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan
syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya
terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan
Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan
mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan
konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara
praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara
bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah
masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober
2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh
masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan
sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian
masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya
khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat
diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman
masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara
terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka
masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang
bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan
berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses
kepada masyarakat luas.
4. Kendala-kendala Operasional
1. Kurangnya
SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan
perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh karena sistem perbankan Syari’ah
masih belum lama dikembangkan di Indonesia . Di samping itu lembaga
akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik
dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana
maupun dari bank sentral masih terasa kurang. (Bank Indonesia, Oktober 2001,
pp. 7)
Menurut penulis, faktor ini yang menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah
seringkali pindah ke bank lain karena menganggap pelayanan dari pihak perbankan
Syari’ah kurang profesional, maka pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah
menjadi hal penting karena keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level
Mikro ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan
ketrampilan pengelola bank. Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama
antara perbankan Syari’ah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar
maupun di Indonesia
sendiri.
2. Keterbatasan Jaringan Kantor
Bank Syari’ah: pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam
rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu,
kurangnya jumlah bank Syari’ah yang ada juga dapat menghambat perkembangan
kerjasama diantara bank Syari’ah. Dalam upaya pengembangan dan perluasan
jaringan kantor bank Syari’ah, ada beberapa faktor penting yang diperlukan
sebagai dasar pengembangan jaringan. Faktor-faktor tersebut meliputi skala
pasar, SDM, sistem dan teknologi, ketimpangan dalam distribusi dana, serta
kegiatan ekonomi.
3. Terjadinya Asimetri Informasi: Asimetri informasi
terjadi karena bank Syari’ah kurang transparan dengan nasabahnya karena nasabah
perbankan Syari’ah seringkali tidak mengetahui tentang kegiatan investasi yang
dijalankan oleh bank serta beberapa resiko yang terdapat dalam kegiatan
tersebut, hal ini juga bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh yang mewajibkan
untuk memberi informasi lengkap mengenai kegiatan usaha kepada mitra
kerja/nasabah (Jamal Atia, 1988, pp. 85).
·
Strategi
Untuk menghadapi segala tantangan diatas,
perbankan syariah menyusun beberapa strategi, diantaranya:
1.
Menetapkan
target bisnis syariah tidak hanya terbatas pada masyarakat muslim,tetapi juga
masyarakat non-muslim. Hal ini dilakukan supaya potensi pasar yang digarap semakin
luas, berkembang lebih cepat, dan memberi manfaat pada lebih banyak orang.
2.
Tidak
hanya terpaku hanya pada pola pikir yang mengedepankan masalah halal haram dan
bunga-riba dalam mengenalkan bank syariah kepada masyarakat, tetapi berusaha
untuk menonjolkan hal-hal yang lebih universal dan populer di masyarakat. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar dari masyarakat Indonesia bukanlah syariah
loyalis, tapi masyarakat rasional yang juga memikirkan untung-rugi jika
menabung atau meminjam uang di bank syariah. Bagi masyarakat rasional, yang
terpenting adalah imbal hasil yang menarik dan keuntungan-keuntungan lainnya,
seperti pelayanan yang memuaskan, teknologi yang canggih, keamanan, jaringan
yang luas, dan kemudahan akses.
3.
Pembuatan
iklan dibuat sepopuler mungkin, sehingga bisa dinikmati kalangan luas atau
bukan hanya untuk umat Islam yang loyalis. Kalau perlu, istilah-istilah yang
berbau bahasa arab, seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah diganti dengan
bahasa Indonesia seperti jual-beli untuk mengganti murabahah, bagi hasil untuk
mudharabah, atau sewa untuk ijarah. Hal ini dikarenakan mayoritas umat muslim
Indonesia masih awam dengan istilah-istilah berbahasa arab tersebut sehingga
menyulitkan mereka untuk memahaminya.
4. Melakukan inovasi dalam mengembangan
produk perbankan syariah. Jangan hanya “mensyahadatkan” produk bank
konvensional.
5. Untuk mematuhi UU Nomor 21 Tahun 2008,
dimana ada kewajiban Bank untuk memisah alias spin off Unit Usaha
Shariah (USS) menjadi bank umum syariah 15 tahun sejak diberlakukannya UU ini
atau bila aset USS sudah mencapai minimal 50% dari total nilai aset bank induk,
akan memicu bank-bank memburu bank-bank yang lebih kecil untuk dikonversi
menjadi bank syariah.
6.
Perbankan
Syariah harus mampu memenuhi tuntutan nasabah kelas atas dalam hal poduk dan
layanan yang prima. Produk semacam ini biasanya disebut dengan istilah seperti wealth
management, private banking, atau privillage banking. Nasabah ini
harus diperlakukan secara personal dan istimewa. Maksudnya, layanan yang
diberikan tidak hanya pada masalah transaksi perbankan saja, tetapi juga dalam
masalah nonbank seperti reservasi hotel, pesawat, pengurusan ONH Plus bagi yang
ingin naik haji, dan lain-lain. Layanan seperti ini sangat layak untuk
dikembangkan karena banyak kalangan atas yang pemahaman agamanya baik, tetapi
masih berhubungan dengan bank konvensional lantaran pelayanannya dinilai lebih
baik. Mereka bertransaksi dengan perbankan konvensional tanpa mengambil bunga.
Yang terpenting bagi mereka adalah mendapat pelayanan prima dan bersifat
pribadi.
7.
Mengusulkan
kepada legislatif untuk membuat kompilasi hukum acara bisnis syariah. Hukum
bisnis yang ada sekarang berasal dari hukum dagang Belanda. Hukum ini
dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan usaha antar lembaga ekonomi syariah
terutama perbankan. Selain itu, hukum ini juga diperlukan untuk mengatur
berbagai hal termasuk dalam hal kepemilikan dan jual beli. Hukum ini nantinya
bisa diatur oleh suatu lembaga peradilan, misalnya peradilan agama. Lembaga ini
diperluas perannya untuk mengurusi hukum perbankan dan bisnis syariah. Meskipun
demikian, ada suatu kendala dalam penyusunan hukum ini, yaitu sifat hukum fikih
yang melandasi praktik bisnis syariah yang bersifat tidak pasti. Ada banyak
penafsiran sehingga dibutuhkan banyak masukan dari berbagai ahli ekonomi
syariah. Oleh karena itu, perlu dibentuk forum hukum bisnis syariah yang
terdiri dari berbagai ahli fikih dan bisnis syariah. Tujuan semua ini adalah
supaya hukum fikih dapat dipositifkan di berbagai bidang keuangan syariah
terutama perbankan syariah
Sebenarnya masih banyak strategi yang bisa
dilakukan, akan tetapi andai saja keenam strategi diatas bisa dijalankan dengan
optimal, penulis optimis prospek perkembangan bank syariah di tahun 2009 dan
tahun berikutnya akan semakin berkembang pesat.