Sabtu, 11 April 2015

Perbankan Syari'ah


I.                   Pengertian, dasar hukum, dan tujuan berdiri
a.       Pengertian
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
b.      Dasar hukum (Dalil Rujukan)
i.        Al-baqarah ayat 275
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

                        ii. Ar-Rum ayat 39
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
                        Dan lain-lain…
c.       Tujuan berdiri
Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan syariah  ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah[2]

II.                Perbedaan antara bank syariah dan konvensional
Parameter
Bank Syariah
Bank Konvensional
Landasan hukum
UU Perbankan dan Landasan Syariah
UU Perbankan
Return
Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee
Bunga, komisi/fee
Hubungan dengan nasabah
Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha
Debitur-kreditur
Fungsi dan kegiatan Bank
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan
Intermediasi, jasa keuangan
Prinsip dasar operasi
Anti riba dan anti maysir
Tidak anti riba dan maysir
Prioritas pelayanan
1.      Tidakbebas nilai (prinsip syariah Islam)
2.      Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
3.      Bagi hasil, jual beli, sewa
1.      Bebas nilai (prinsip materialis)
2.      Uang sebagai komoditi
3.      Bunga

Orientasi
Kepentingan publik
Kepentingan pribadi
Bentuk usaha
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
Keuntungan
Evaluasi nasabah
Bank komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose
Bank komersial
Hubungan nasabah
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko
Kepastian pengembalian pokok dan bunga
Suber likuiditas jangka pendek
Erat sebagai mitra usaha
Terbatas debitur-kreditur
Pinjaman yang diberikan
Terbatas
Pasar uang, bank sentral
Prinsip usaha
Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
Pengelolaan dana
Pasiva ke Aktiva
Aktiva ke Pasiva
Lembaga penyelesaian sengketa
Pengadilan, arbitrase
Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional
Risiko Investasi
1.      Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran
2.      Tidak mungkin terjadi negative spread
1.      Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank
2.      Kemungkinan terjadi negative spread
Monitoring pembiayaan/Kredit
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
Terbatas pada administrasi
Struktur Organisasi Pengawas
Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah Nasional
Dewan komisaris
Criteria pembiayaan
Bankable, Halal
Bankable, Halal atau haram
Sumber: Veitzal Rifai,

Perbedaan ini meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
a.       Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1.      Rukun : Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
2.      Syarat : misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b.      Lembaga Penyelesai Sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat  tidak menyelesaikannya di peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. (Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia)
c.       Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
d.      Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:
1.      Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3.      Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4.      Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5.      Apakah usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh missal?
6.      Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
e.       Linkungan kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Antara lain dalam hal etika (amanah dan shiddiq), cara berpakaian dan tingkah laku, akhlakul karimah dalam menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skilfull dan professional, mampu mengerjakan tugas team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi,  selain itu pula dalam hal reward and punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.

III.             Sejarah lahir dan berkembangnya bank syariah di berbagai Negara

Revivalis Islam, setelah periode panjang stagnasi, telah menghasilkan beberapa tren pemikiran di dunia islam modern, diantaranya adalah pemikiran Modernisme dan neo-Revivalisme. Kaum modernis berusaha untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip moral-spiritual syariah dan menyerukan upaya-upaya untuk memahami al-qur’an dan sunnah dalam perspektif prinsip-prinsip yang luas itu. Sementara kaum neo Revivalis, di lain pihak, memfokuskan pada aplikasi syariah seperti apa adanya, tanpa sedikit pun reinterpretasi mendasar terhadap semua teks-teks zhahirnya.[3]
Tersebarnya bank-bank ala barat yang berbasis bunga di Negara-negara yang dikuasai muslim, mengundang para sarjana muslim untuk berdebat mengenai apakah bunga itu riba atau bukan. Kaum neo-revivalis bersikukuh bahwa bunga adalah riba, dan mereka sudah menuntut penghapusannya sejak 1930-an, sementara kaum modernis berpendapat bahwa tidak semua bentuk bunga adalah riba, hanya bunga yang dinilai tidak adil saja yang riba. Meskipun suara kaum neo-revivalis tidak cukup mendapatkan pengakuan dari para pemimpin politik sebelum 1960-an, suaranya memiliki pengaruh terhadap undang-undang sejumlah Negara muslim, yang menilai bunga sebagai riba. Meskipun begitu, tak satu pun pemerintah  muslim di zaman modern yang berusaha menghapuskan bunga sebelum 1970-an. Namun, situasinya berubah sejak 1970-an, disebabkan oleh dua factor: meningkatnya pengaruh neo-revivalisme dan kekayaan minyak Negara-negara teluk konservatif. Interpretasi kaum neo-revivalis yang menilai bunga sebagai riba diberi kekuatan oleh dukungan moral dan material para penguasa teluk dan beberapa orang kaya dari Negara-negara tersebut”. Jutaan dolar diinvestasikan dalam pendirian bank-bank islam timur tengah  dan wilayah lainnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah islam Pakistan, Iran, dan Sudan mulai mengeliminir bunga dari sistem keuangan dan perbankan mereka. Bank-bank islam tumbuh pesat pada tahun 1970-an dan 1980-aan. Pada saat sekarang, bank-bank islam dalam dalam berbagai bentuknya bermunculan di banyak Negara muslim maupun non-muslim. Deposito, dana-dana yang disalurkan, serta ekuitas para pemegang saham di bank-bank tersebut telah meningkat tajam.[4]

Upaya awal penerapan system profit and loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
      Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan cukup pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid ahamad dan laporan Internasional Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara berpenduduk miskin maupun di Eropa, Australia, maupun di Amerika.[5]
Pada sekitar tahun 1970-an, bank yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam mulai marak di seluruh dunia dengan mempergunakan teknologi modern. Dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil yang mengacu kepada ajaran agama Islam dan diterapkan secara istiqomah, bank-bank syariah ini tumbuh dengan pesat. Di Negara-negara yang bank syariahnya menerapkan ketentuan-ketentuan syariat Islam secara konsekuen, sedikit sekali mendapatkan kesulitan dalam operasinya. Sebaliknya, penerapan ketentuan-ketentuan syariat Islam pada bank yang setengah-setengah, selalu mengalami kesulitan dan menimbulkan masalah bagi  nasabahnya.[6]

Faktor-faktor yang mendorong munculnya bank-bank Islam:
1.      Kecaman kaum neo-Revivalis terhadap bunga sebagai riba.
2.      Kekayaan minyak Negara-negara Teluk konservatif.
3.      Pengadopsian interpretasi tradisional riba oleh sejumlah Negara-negara muslim pada tingakat pembuatan kebijakan.

Mit Ghamr Bank
Rintisan perbankan syariah mulai berdiri di Mesir pada decade 1960-an dan beropersi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta sungai nil. Lembaga ini  hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan system financial dan ekonomi.

Perkembangan Bank-Bank Syariah di Beberapa Negara
1.      Pakistan          
Merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979, sistem bunga di hapuskan dari tiga institusi: National Investment, House Building Finance Corporation, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan. Awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan dikonversi dengan sistem perbankan syariah
2.      Mesir
Bank syariah yang pertama kali berdiri adalah Faisal Islamic Bank. Selain ini, terdapat bank lain yaitu Islamic International Bank for Investment and Development yang beroperasi dengan menggunakan instrument keuangan Islam dan menyediakan jaringan luas. Bank ini beroperasi baik sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank).
3.      Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan system tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukkan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474. Pada akhr tahun 1985, total asset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4-5 dolar US)
4.      Iran
Ide pengembangan perbankan syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti baru dimulai sejak Januari tahun 1984.
      Berdasarkan undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan system syariah.
      Islamisasi system perbankan di Iran ditandai dengan nasionalisai seluruh industry perbankan yang dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak lahirnya UU Perbankan Islam (1983), seluruh system keuangan di Iran otomatis sesuai syariah di bawah control pemerintah.
5.      Malaysia
Tahun 1983 lahir Bank Islam Malaysia Berhard (BIMB). Bank Islam lahir bukan karena adanya rich individual seperti di Timur Tengah. BIMB berkembang karena pemikiran & kreativitas banker Islam dalam menciptakan produk-produk bank berdasar syariah yang mampu berkompetisi dengan bank konvensional sehingga nasabahnya bukan hanya kelompok muslim yang mengharamkan bunga tetapi juga kelompok lain yang rasional.

IV.             Perbedaan antara IDB,Bank syariah dan BPRS
Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. Pemerintah daerah.

Bank Pembiayaan Rakyat  Syariah (BPRS) adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.
Hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a.       Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
b.      Pemerintah daerah; atau
c.       Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.


Islamic Development Bank (IDB) diprakarsai berdirinya dalam konferensi Menteri-Menteri Keuangan pertama negara anggota OKI di Jeddah tanggal 18 Desember 1973.
Tujuan: mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kehidupan sosial negara anggotanya serta masyarakat Muslim sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.






V.                Peraturan hukum terkait dengan bank syariah
1.      UU No.7 Tahun 1992
Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.

2.      UU No.10 Tahun 1998
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:
         Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
         Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
.
3.      UU No.23 Tahun 2003
      UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank system.

4.      UU No.21 Tahun 2008
Beberapa aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:
         Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank syariah, kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi sebelum berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (pasal 5 no.4).Bagi bank umum konvensional (BUK) yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah setelah nama bank(pasal 5 no.5).
Konsekuensinya, penamaan suatu UUS pada suatu kantor cabang BUK yang saat ini kebanyakan disingkat, misalnya Bank X Syariah Cabang Kemayoran, maka harus di ubah menjadi Bank X Unit Usaha Syariah Cabang Kemayoran.
         Kedua, adanya sanksi bagi pemegang saham pengendali yang tidak lulus fit and proper test dari BI (pasal 27).
         Ketiga, satu-satunya pemegang fatwa syariah adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk komite perbankan syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah (pasal 26).
         Keempat, adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah.
Dalam definisi lama disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Menurut UU No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”, secara implisit UU No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi murabahah tidak termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini menjadi masalah bagi bank syariah.




5.      Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah
a.       PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
b.      PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
c.       PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

VI.             Dampak pertumbuhan bank syariah bagi perkembangan bisnis syariah lainnya
Dampak banyaknya bermunculan bank syariah di Indonesia mulai dari bank umum, unit usaha, sampai akusisi saham, merangsang pertumbuhan bisnis-bisnis syariah lainnya. Karena pandangan masyarakat akan bisnis syariah lebih menguntungkan.  Walaupun return yang didapatkan lebih kecil dibanding bisnis konvensional namun bisnis syariah tetap bertahan ditengah krisis global seperti sekarang ini. Beberapa bisnis syariah yang mulai berkembang sekarang ini selain bank syariah diantaranya asuransi syariah, BPRS, dan BMT. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang prinsip syariah mulai meluas, dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terhadap bisnis syariah memberikan dampak positif bagi perkembangan bisnis-bisnis syariah.

VII.          Prospek, Kendala, dan Strategi Perkembangan Bank Syariah
·         Prospek Bank Syari’ah
Tidak bisa dibantah, bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh empat hal ;
Pertama, Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan.
Kedua, Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif, tidak seperti sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah.
Ketiga Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.


Keempat, Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan negara dari kehancuran. Bank Indonesia yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar. Memang banyak peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah, khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
Kelima, Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia.

·         Kendala Bank Syariah
1.      Kendala-Kendala Fiqh
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan (Umar Syihab, 1996, pp. 1270).
Sementara itu Majelas Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal Ka’bah, 2001, pp. 63).


Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram (Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, pp. 63).
Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atas madarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional.

2. Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah.

3. Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 6).
 Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada masyarakat luas.
4.      Kendala-kendala Operasional
1. Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang. (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 7)
Menurut penulis, faktor ini yang menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah seringkali pindah ke bank lain karena menganggap pelayanan dari pihak perbankan Syari’ah kurang profesional, maka pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah menjadi hal penting karena keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level Mikro ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengelola bank. Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama antara perbankan Syari’ah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar maupun di Indonesia sendiri.
2. Keterbatasan Jaringan Kantor Bank Syari’ah: pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank Syari’ah yang ada juga dapat menghambat perkembangan kerjasama diantara bank Syari’ah. Dalam upaya pengembangan dan perluasan jaringan kantor bank Syari’ah, ada beberapa faktor penting yang diperlukan sebagai dasar pengembangan jaringan. Faktor-faktor tersebut meliputi skala pasar, SDM, sistem dan teknologi, ketimpangan dalam distribusi dana, serta kegiatan ekonomi.
3. Terjadinya Asimetri Informasi: Asimetri informasi terjadi karena bank Syari’ah kurang transparan dengan nasabahnya karena nasabah perbankan Syari’ah seringkali tidak mengetahui tentang kegiatan investasi yang dijalankan oleh bank serta beberapa resiko yang terdapat dalam kegiatan tersebut, hal ini juga bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh yang mewajibkan untuk memberi informasi lengkap mengenai kegiatan usaha kepada mitra kerja/nasabah (Jamal Atia, 1988, pp. 85).
·         Strategi
Untuk menghadapi segala tantangan diatas, perbankan syariah menyusun beberapa strategi, diantaranya:
1.      Menetapkan target bisnis syariah tidak hanya terbatas pada masyarakat muslim,tetapi juga masyarakat non-muslim. Hal ini dilakukan supaya potensi pasar yang digarap semakin luas, berkembang lebih cepat, dan memberi manfaat pada lebih banyak orang.
2.      Tidak hanya terpaku hanya pada pola pikir yang mengedepankan masalah halal haram dan bunga-riba dalam mengenalkan bank syariah kepada masyarakat, tetapi berusaha untuk menonjolkan hal-hal yang lebih universal dan populer di masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari masyarakat Indonesia bukanlah syariah loyalis, tapi masyarakat rasional yang juga memikirkan untung-rugi jika menabung atau meminjam uang di bank syariah. Bagi masyarakat rasional, yang terpenting adalah imbal hasil yang menarik dan keuntungan-keuntungan lainnya, seperti pelayanan yang memuaskan, teknologi yang canggih, keamanan, jaringan yang luas, dan kemudahan akses.
3.      Pembuatan iklan dibuat sepopuler mungkin, sehingga bisa dinikmati kalangan luas atau bukan hanya untuk umat Islam yang loyalis. Kalau perlu, istilah-istilah yang berbau bahasa arab, seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah diganti dengan bahasa Indonesia seperti jual-beli untuk mengganti murabahah, bagi hasil untuk mudharabah, atau sewa untuk ijarah. Hal ini dikarenakan mayoritas umat muslim Indonesia masih awam dengan istilah-istilah berbahasa arab tersebut sehingga menyulitkan mereka untuk memahaminya.
4.      Melakukan inovasi dalam mengembangan produk perbankan syariah. Jangan hanya “mensyahadatkan” produk bank konvensional.
5.      Untuk mematuhi UU Nomor 21 Tahun 2008, dimana ada kewajiban Bank untuk memisah alias spin off Unit Usaha Shariah (USS) menjadi bank umum syariah 15 tahun sejak diberlakukannya UU ini atau bila aset USS sudah mencapai minimal 50% dari total nilai aset bank induk, akan memicu bank-bank memburu bank-bank yang lebih kecil untuk dikonversi menjadi bank syariah.
6.      Perbankan Syariah harus mampu memenuhi tuntutan nasabah kelas atas dalam hal poduk dan layanan yang prima. Produk semacam ini biasanya disebut dengan istilah seperti wealth management, private banking, atau privillage banking. Nasabah ini harus diperlakukan secara personal dan istimewa. Maksudnya, layanan yang diberikan tidak hanya pada masalah transaksi perbankan saja, tetapi juga dalam masalah nonbank seperti reservasi hotel, pesawat, pengurusan ONH Plus bagi yang ingin naik haji, dan lain-lain. Layanan seperti ini sangat layak untuk dikembangkan karena banyak kalangan atas yang pemahaman agamanya baik, tetapi masih berhubungan dengan bank konvensional lantaran pelayanannya dinilai lebih baik. Mereka bertransaksi dengan perbankan konvensional tanpa mengambil bunga. Yang terpenting bagi mereka adalah mendapat pelayanan prima dan bersifat pribadi.


7.      Mengusulkan kepada legislatif untuk membuat kompilasi hukum acara bisnis syariah. Hukum bisnis yang ada sekarang berasal dari hukum dagang Belanda. Hukum ini dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan usaha antar lembaga ekonomi syariah terutama perbankan. Selain itu, hukum ini juga diperlukan untuk mengatur berbagai hal termasuk dalam hal kepemilikan dan jual beli. Hukum ini nantinya bisa diatur oleh suatu lembaga peradilan, misalnya peradilan agama. Lembaga ini diperluas perannya untuk mengurusi hukum perbankan dan bisnis syariah. Meskipun demikian, ada suatu kendala dalam penyusunan hukum ini, yaitu sifat hukum fikih yang melandasi praktik bisnis syariah yang bersifat tidak pasti. Ada banyak penafsiran sehingga dibutuhkan banyak masukan dari berbagai ahli ekonomi syariah. Oleh karena itu, perlu dibentuk forum hukum bisnis syariah yang terdiri dari berbagai ahli fikih dan bisnis syariah. Tujuan semua ini adalah supaya hukum fikih dapat dipositifkan di berbagai bidang keuangan syariah terutama perbankan syariah
Sebenarnya masih banyak strategi yang bisa dilakukan, akan tetapi andai saja keenam strategi diatas bisa dijalankan dengan optimal, penulis optimis prospek perkembangan bank syariah di tahun 2009 dan tahun berikutnya akan semakin berkembang pesat.