BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara
teoritis, Pancasila merupakan falsafah negara (philosofische gronslag). Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Ada lima prinsip sebagai philosofische
grondslag bagi Indonesia, yaitu kebangsaan Indonesia,
internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan
sosial dan ketuhanan yang berbudaya.
Dari sudut
sejarah, Pancasila sebagai dasar negara pertama-tama diusulkan oleh Ir.Soekarno
pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yaitu pada waktu membahas Pancasila
sebagai dasar negara. Sejak saat itu pula Pancasila digunakan sebagai nama dari
dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, meskipun untuk itu
terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang berbeda.
Pancasila
sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan Negara
Indonesia harus sesuai dengan Pancasila. Secara historis, Pancasila diambil
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, sehingga mempunyai fungsi dan peranan
yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila
bersifat universal, sehingga harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang diarahkan
untuk mencapai tujuan negara harus berpijak kepada nilai-nilai Pancasila.
Makalah ini akan membahas tentang nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
implementasi Pancasila dalam peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan perundang-undangan di
Indonesia?
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia
sebagai negara hukum, berarti segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasar
atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional
merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling
menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengatasi permasalahan yang timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan sistem
hukum nasional diharapkan lahir produk hukum yang demokratis, yaitu tercapainya
keadilan, ketertiban, keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat memberikan
perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan dan ketenangan.
Dalam
pembentukan sistem hukum nasional, termasuk peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan nilai negara yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai
tersebut merupakan harapan-harapan, keinginan dan keharusan. Nilai berarti
sesuatu yang ideal, merupakan sesuatu yang dicita-citakan, diharapkan dan
menjadi keharusan. Notonagoro, membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu pertama,
nilai materiil. Segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau
kebutuhan material manusia. Kedua, nilai vital yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas. Ketiga,
nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai
kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.[1]
Nilai yang
terkandung dalam Pancasila bersifat universal, yang diperjuangkan oleh hampir
semua bangsa-bangsa di dunia. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
memiliki daya tahan dan kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan
wujud cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila.
A. Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah
satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap
kebebasan beragama (freedom of religion). Mochtar Kusumaatdja
berpendapat, asas ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum
nasional yang bertentangan dengan agama atau menolak atau bermusuhan dengan
agama. Dalam proses penyusuan suatu peraturan perundang-undangan, nilai
ketuhanan merupakan pertimbangan yang sifatnya permanem dan mutlak.
Dalam negara
hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara, karena
hal itu akan bertentangan dengan Pancasila. Kebebasan beragama dalam arti
positif, ateisme tidak dibenarkan. Komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan
kerukunan. Terdapat dua nilai mendasar, yaitu pertama, kebebasan
beragama harus mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan; kedua, ada hubungan yang erat
antara agama dan negara.
Negara hukum
Pancasila berpandangan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau
keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Para pendiri negara menyadari bahwa
negara Indoneia tidak terbentuk karena perjanjian melainkan atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Berdasarkan
nilai Ketuhanan yang Maha Esa, maka negara hukum Pancasila melarang kebebasan
untuk tidak beragama, kebebasan anti agama, menghina ajaran agama atau
kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Elemen inilah yang menunjukkan salah satu elemen yang menandakan perbedaan
pokok antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Dalam pelaksanaan
pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta
peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur
untuk menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum
yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.
Nilai
Ketuhanan yang maha Esa menunjukkan nilai bahwa negara mengakui dan melindungi
kemajemukan agama di Indonesia. Negara mendorong warganya untuk membangun
negara dan bangsa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Sila pertama dari Pancasila,
secara jelas ditindaklanjuti Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini menjadi dasar penghormatan
dasar untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan.
B. Nilai-Nilai Kemanusiaan
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa. Berdasarkan nilai tersebut, dikembangkan sikap saling mencintai
sesama manusia, sikap tenggang rasa dan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain. Berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, maka Indonesia menentang segala
macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lain,
oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh manusia terhadap manusia
lain, oleh penguasa terhadap rakyatnya.
Kemanusian
yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak
asasi manusia. Nilai ini didasarkan pada kesadaran bahwa manusia adalah
sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerjasama
dengan bangsa-bangsa lain.
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung pemahaman hukum bahwa setiap
warga Indonesia lebih mengutamakan prinsip manusia yang beradab dalam lingkup
nilai keadilan. Kemanusiaan yang beradab mengandung bahwa pembentukan hukum
harus menunjukkan karakter dan ciri-ciri hukum dari manusia yang beradab. Hukum
baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan setiap putusan hukum harus
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan terhadap manusia dalam Pancasila
berarti menempatkan sekaligus memperlakukan setiap manusia Indonesia secara
adil dan beradab.
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab membawa implikasi bahwa negara memperlakukan
setiap warga negara atas dasar pengakuan dan harkat martabat manusia dan nilai
kemanusiaan yang mengalir kepada martabatnya.
C. Nilai-Nilai Persatuan
Sila
Persatuan Indonesia mengandung nilai bahwa Indonesia menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan Indonesia terkait dengan paham
kebangsaan untuk mewujudkan tujuan nasional. Persatuan dikembangkan atas dasar
Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan
bangsa. Dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja, nilai kesatuan dan persatuan
mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia
yang majemuk, semangat persatuan yang bersumber pada Pancasila menentang
praktik-praktik yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, baik
karena alasan perbedaan suku, asal-usul maupun agama. Asas kesatuan dan
persatuan selaras dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman.
Semangat persatuan Indonesia menentang segala bentuk separatisme dan memberikan
tempat pada kemajemukan.
Sila
Persatuan Indonesia, mengandung pemahaman hukum bahwa setiap peraturan hukum
mulai undang-undang hingga putusan pengadilan harus mengacu pada terciptanya
sebuah persatuan warga bangsa. Dalam tataran empiris munculnya nilai baru
berupa demokratisasi dalam bernegara melalui pemilihan langsung harus selaras
dengan sila Persatuan Indonesia. Otonomi daerah yang tampaknya lebih bernuansa
negara federal harus tetap dalam bingkai negara kesatuan. Semangat untuk
membelah wilayah melalui otonomi daerah tidak boleh mengalahkan semangat
persatuan dan kesatuan wilayah.
Persatuan
Indonesia merupakan implementasi nasionalisme, bukan chauvinisme daan
bukan kebangsaan yang menyendiri. Nasionalisme menuju pada kekeluargaan
bangsa-bangsa, menuju persatuan dunia, menuju persaudaraan dunia. Nasionalisme
dengan internasionalisme menjadi satu terminologi, yaitu sosio nasionalisme.
D. Nilai-Nilai Kedaulatan Rakyat
Nilai
persatuan Indonesia bersumber pada asas kedaulatan rakyat, serta menentang
segala bentuk feodalisme, totaliter dan kediktatoran oleh mayoritas maupun
minoritas. Nilai persatuan Indonesia mengandung makna adanya usaha untuk
bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Nilai keadulatan rakyat menjadi dasar demokrasi di
Indonesia. Nilai ini menunjuk kepada pembatasan kekuasaan negara dengan
partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai demokratik
mengandung tiga prinsip, yaitu pembatasan kekuasaan negara atas nama hak asasi
manusia, keterwakilan politik dan kewarganegaraan.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
menunjukkan manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
Setiap warga negara dalam menggunakan hak-haknya harus menyadari perlunya
selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mendambakan terwujudnya
masyarakat yang demokratis, maka gerakan massa yang terjadi harus dilakukan
dengan cara-cara yang demokratis.
Kedudukan
hak dan kewajiban yang sama, tidak boleh ada satu kehendak yang dipaksakan
kepada pihak lain. Sebelum mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Musyawarah untuk mencapai mufakat
ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa
Indonesia. Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil
keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan menerima dan
melaksanakan dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab.
Nilai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui
lembaga-lembaga perwakilan. Penyelenggaraan negara yang demokratis merupakan
cita-cita dari negara modern.
E. Nilai-Nilai Keadilan Sosial
Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukkan bahwa manusia
Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
sosial dalam masyarakat Indonesia. Keadilan sosial memiliki unsur pemerataan,
persamaan dan kebebasan yang bersifat komunal
Dalam rangka
ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap
sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak
orang lain. Nilai keadilan sosial mengamatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
Dengan sikap
yang demikian maka tidak ada usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain, juga untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan hidup bergaya mewah serta
perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum. Demikian juga dipupuk sikap suka kerja keras dan sikap menghargai hasil
karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang
merata dan berkeadilan sosial.
Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai bahwa
setiap peraturan hukum, baik undang-undang maupun putusan pengadilan
mencerminkan semangat keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah semangat
keadilan sosial bukan keadilan yang berpusat pada semangat individu. Keadilan
tersebut haruslah dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
bukan oleh segelintir golongan tertentu.
Nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar
sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
secara lahiriah maupun batiniah.
Penegakan
hukum dan keadilan ini ialah wujud kesejahteraan manusia lahir dan batin,
sosial dan moral. Kesejahteraan rakyat lahir batin, terutama terjaminnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, rasa
keamanan dan keadilan, serta kebebasan beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan
sosial ini harus diwujudkan berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang berlaku
dan ditegakkan secara melembaga berdasarkan UUD 1945.
Dalam
pandangan Bagir Manan, kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki beberapa
karakter yang harus dipahami oleh hakim sehingga dapat mewujudkan nilai
keadilan sosial. Peradilan berfungsi menerapkan hukum, menegakkan hukum dan
menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan peradilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan; segala bentuk campur tangan dari luar kekuasaan kehakiman dilarang.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, tidak
ada seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang
ditentukan baginya oleh undang-undang.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Implementasi
Pancasila Dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Penuangan
Pancasila didalam UUD
Isi UUD secara
keseluruhan dimaksudkan mengatur rambu-rambu pokok untuk mengolaborasi empat
kaidah penuntun hukum Pancasila yang kemudian dilembagakan dari pusat sampai ke
daerah-daerah harus dijadikan pedoman dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan lainnya.
a) Penuntun
pertama
Semua peraturan perundang-undangan
harus menjamin integrasi atau keutuhan ideologi dan teritori negara dan bangsa
Indonesia.
b) Penuntun
kedua
Negara harus diselenggarakan dalam
keseimbangan antara prinsip demokrasi dan nomokrasi.
c) Penuntun
ketiga
Negara harus menjamin keadilan
sosial.
d) Penuntun
keempat
Negara harus menjamin tegaknya
toleransi beragama yang berkeadaban.
Jika dilihat
dari urut-urut Pancasila maka penuangan isi Pancasila didalam UUD 1945 juga
tampak jelas. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diatur didalam pasal 29 dan pasal
28; sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diatur didalam pasal-pasal 28; sila
Persatuan Indonesia diatur dalam pasal 1 ayat (1), pasal 30, dan pasal 37 ayat
(5); sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan diatur didalam pasal 2, pasal 5, pasal 18, pasal 20,
pasal 22; sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia diatur didalam
pasal 28, pasal 33, dan pasal 34. Pasal-pasal lain didalam UUD 1945 semuanya
dibuat untuk mendukung pelaksanaan semua sila Pancasila tersebut.
2. Penuangan
didalam Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD
Sangatlah sulit
untuk menilai atau mengukur satu persatu, apakah isi perundang-undangan dibawah
UUD itu benar-benar merupakan penuangan Pancasila atau bukan, karena jumlahnya
mencapai ribuan. Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa sudah ada instrumen
hukum dan politik yang mengatur agar semua peraturan perundang-undangan memuat
isi yang secara berjenjang konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi yang pada tataran puncaknya harus bersumber pada Pancasila.
3. Prolegnas
dan Prolegda
Agar didalam
pembuatan UU dan Perda terbangun konsistensi isi dengan Pancasila dan UUD maka
pada saat ini di Indonesia telah ditetapkan keharusan adanya Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Keharusan adanya
Prolegnas dan Prolegda dimaksudkan agar semua UU dan Perda yang akan dibuat
dapat dinilai lebih dulu kesesuaiannya dengan Pancasila dan UUD 1945 melalui
perencanaan dan pembahasan yang matang. Dengan demikian, Prolegnas dan Prolegda
menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD didalam UU dan Perda.
4. Judicial
Review
Ketentuan tentang penuangan Pancasila ke
dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen pengawasannya melalui judicial
review di Indonesia pada saat ini sudah cukup diatur dengan berbagai instrumen
konstitusi dan hukum.menurut pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi (MK)
mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung (MA) menurut
pasal 24A UUD 1945 melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
B.
Implementasi
Pancasila Dalam Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia
Pernyataan Pancasila
sebagai falsafah hidup menginginkan agar moral Pancasila menjadi moral
kehidupan negara dalam arti menuntut penyelenggara dan penyelenggaraan negara
menghargai dan menaati prinsip-prinsip moral atau etika politik. Sebagai
konsekuensinya, negara tunduk kepada moral dan wajib mengamalkannya. Moral
menjadi norma tindakan dan kebijaksanaan negara sehingga perlu dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, moral Pancasila memberikan
inspirasi dan menjadi pembimbing dalam pembuatan undang-undang yang mengatur
kehidupan negara, menetapkan lembaga-lembaga negara dan tugas mereka
masing-masing, serta hubungan kerjasama diantara mereka, hak-hak dan kedudukan
warga negara, dan hubungan warga negara dan negara dalam iklim dan semangat
kemanusiaan.[2]
Nilai-nilai Pancasila
sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
khususnya implementasi dalam peraturan perundang-undangan nampak belum
sepenuhnya diimplementasikan. Keadaan tersebut disebabkan oleh beberapa aspek
antara lain; masih adanya birokrasi yang tetap mempertahankan aturan perundang-undangan
yang lama, karena meng-enak-kan diri dan kelompoknya. Masih diakomodirnya
aturan perundang-undangan eks Hindia Belanda yang diadopsi sebagai peraturan
perundang-undangan RI. Masih ditemukan peran pendonor yang mendikte substansi
dalam penyusunan undang-undang baik itu berasal dari inisiatif pemerintah
maupun inisiatif DPR-RI. Pemegang kekuasaan negara, lembaga pemerintahan
lainnya dan warga negara belum semuanya tunduk dan taat terhadap hukum negara
dan masih kuatnya ego sektoral dalam pembuatan perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan yang
dalam penyusunannya tidak berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila mengakibatkan
undang-undang tersebut tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, sehingga
kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya menjiwai peraturan tersebut tidak
nampak, keadaan ini pada gilirannya akan memperlemah Ketahanan Nasional.[3]
BAB
IV
SIMPULAN
Pancasila
sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara harus dapat diimplementasikan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Pancasila
merupakan landasan filosofis yaitu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita
hukum.
Negara hukum
berkembang sangat dinamis, mengikuti perkembangan politik, ekonomi dan sosial
Perkembangan negara hukum Indonesia mengarah pada penguatan unsur negara hukum.
Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang adalah negara
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut antara
lain, ketuhanan yang maha Esa, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan negara, prinsip musyawarah mufakat dan peradilan menjadi
sarana mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pengembangan negara hukum Indonesia
pada masa yang akan datang harus lebih bersifat substansial, yaitu menjamin
terwujudnya negara berdasar atas hukum dan perlindungan hak asasi manusia,
menjamin terwujudnya kehidupan kenegaraan yang demokratis, mempercepat
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjamin
terwujudnya pemerintahan yang layak. Dalam konteks pengembangan negara hukum
yang demokratis perlu dilakukan penataan kelembagaan negara agar mampu
mewujudkan tujuan bernegara, berdemokrasi dan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta
: Paradigma.
Modul BS Pancasila dan UUD NRI 1945. Lemhannas 2014.
Mahfud. 2015. Penuangan Pancasila di Dalam Peraturan
Perundang-Undangan.
[tersedia]
dalam http://www.mahfudmd.com/public/makalah
NN. 2015. Penerapan
Pancasila Dalam Pembentukan Perundang-Undangan. [tersedia] dalam
http://www.fhumj.org/berita_info/berita_detail/16